Tanya Jawab Permasalahan Agama, Syaikh Abul Hasan Ali Jadullah حفظه الله
Pada kajian kali ini, Syekh memberikan kebebasan kepada Bapak Ibu jemaah yang hadir untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan bisa berkaitan dengan amalan-amalan, kurban, atau lainnya. Yang bisa dijawab, akan dijawab, dan yang tidak bisa, wallahu a’lam bisshawab."
TANYA JAWABKAJIAN RUTINATSAR CHANEL
5/8/20243 min baca
TANYA JAWAB PERMASALAHAN AGAMA
Pada kajian kali ini, Syekh memberikan kebebasan kepada Bapak Ibu jemaah yang hadir untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan bisa berkaitan dengan amalan-amalan, kurban, atau lainnya. Yang bisa dijawab, akan dijawab, dan yang tidak bisa, wallahu a’lam bisshawab."
Penanya:
Assalamu'alaikum warahmatullah. Bagaimana pelaksanaan salat jamak pada hari Jumat?
Apakah bisa melakukan salat jamak Dzuhur dengan Asar di hari Jumat?
Syekh:
Wa'alaikumsalam warahmatullah. Mengenai pelaksanaan salat jamak pada hari Jumat, ada dua jenis jamak yang perlu dipahami:
1. Jamak Takdim – Salat fardu yang kedua (misalnya Asar) dilaksanakan bersama salat fardu yang pertama (Dzuhur atau Jumat), atau salat Isya dilaksanakan bersama salat Maghrib.
2. Jamak Takhir – Salat yang pertama (Dzuhur) dilaksanakan pada waktu yang kedua (Asar), atau Maghrib dilaksanakan pada waktu Isya.
Apa hukum jamak? Jamak ini boleh. Namun Jenisnya ada dua: takdim dan takhir. apakah keduany boleh, atau satu jenis saja, ini masalah penting sekali, Jenis yang benar sesuai dengan dalil yang sahih, mayoritas hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Nabi safar, beliau melakukan jamak semuanya dalam bentuk jamak takhir.
Hadisnya dari Abdullah, Abu Hurairah, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Amr, dan banyak sahabat lainnya. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat sebelum waktu Zuhur, Nabi mentakhirkan salat Zuhur sampai waktu Asar, lalu melaksanakan salat Zuhur di waktu Asar, kemudian salat Asar setelah itu.
Begitu pula ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah masuk waktu azan sebelum berangkat, beliau melaksanakan salat Zuhur dua rakaat, kemudian berangkat. Ketika waktu Asar tiba, beliau turun dan melaksanakan salat Asar. Jadi, beliau takdim Zuhur, lalu melaksanakan Asar di waktu Asar, begitu juga di waktu Isya.
Ada satu riwayat dari Abdullah ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Said (Perawi yang hafalannya kuat). Namun, riwayat ini dipermasalahkan karena di dalamnya terdapat kelemahan. Imam Bukhari, Imam Ahmad, dan ulama hadis lainnya mengkritik riwayat ini, menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih tentang jamak takdim.
Imam Bukhari adalah seorang ulama yang sangat cerdas dalam ilmu 'Ilal Hadis (ilmu yang mempelajari cacat tersembunyi dalam hadis). Beliau mampu mengetahui adanya kesalahan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Said.
Suatu ketika, Imam Bukhari bertanya kepada Qutaibah bin Said, "Engkau mendengar hadis ini dari siapa?" Lalu Qutaibah menyebutkan nama seorang rawi. Rawi ini bertugas menulis hadis di dalam buku catatannya. Namun, ada satu kesalahan yang terjadi. Terkadang, ketika kita berada di sebuah majelis ilmu, kita menulis hadis yang disampaikan oleh seorang Syekh. Namun, mungkin ada saat di mana kita lalai dalam mencatat atau meninggalkan catatan kita tanpa pengawasan. Dalam kasus ini, seorang teman bisa saja mengambil buku catatan kita dan menulis hadis yang sebenarnya tidak berasal dari Syekh tersebut.
Setelah beberapa waktu, ketika kita membuka kembali buku catatan kita, kita mungkin tidak menyadari bahwa ada tambahan hadis yang bukan dari sumber yang sahih. Kita bisa saja meyakini bahwa seluruh isi buku catatan itu adalah hasil tulisan kita sendiri dan berasal dari Syekh, padahal sebenarnya ada orang lain yang menambahkan hadis tersebut tanpa sepengetahuan kita. Inilah yang terjadi pada Qutaibah bin Said. Seorang teman yang hafalannya tidak bagus menambahkan hadis dalam catatannya.
Para ulama kemudian mengatakan bahwa orang ini memiliki masalah dalam kejujuran, karena ia mencuri catatan temannya dan menambahkan hadis-hadis yang tidak benar. Hadis yang dimaksud adalah hadis tentang jamak takdim, yang kemudian menjadi tidak sahih. Imam Bukhari mampu mengetahui kesalahan ini dan mencatat kelemahan dalam periwayatan hadis tersebut.
Para ulama hadis lainnya juga mengkritik hadis ini dan menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sahih. Imam Bukhari dan para ahli hadis lain seperti Imam Al-Uqaili dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada hadis sahih yang mendukung jamak takdim.
Kesimpulannya, mayoritas ulama hadis menyatakan bahwa tidak ada hadis sahih tentang jamak takdim, kecuali satu hadis saja yang sahih, yaitu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berada di hari Arafah saat melakukan haji. Nabi hanya berhaji sekali dalam hidupnya, dan hari Arafah waktu itu bertepatan dengan hari Jumat. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Arafah, setelah zawal (waktu tergelincirnya matahari atau waktu Dzuhur), beliau melakukan salat Dzuhur dua rakaat, bukan salat Jumat. Setelah iqamah, beliau langsung melanjutkan dengan salat Asar dua rakaat. Ini adalah contoh jamak takdim.
Menurut para ulama muhaddisin, hal ini bukan dilakukan karena safar (perjalanan), tetapi karena nusuk (ritual haji). Hal ini khusus berlaku saat pelaksanaan haji, bukan untuk safar pada umumnya.
Setelah selesai dari Arafah dan ketika matahari terbenam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki Muzdalifah. Di waktu Maghrib, setelah azan Maghrib, beliau berwudu. Saat itu Bilal berkata, "Ya Rasulullah, apakah kita akan salat?" Nabi menjawab, "Salat di depan," yaitu nanti di waktu Isya. Ketika azan Isya dikumandangkan, Nabi turun dan melaksanakan salat Maghrib tiga rakaat, kemudian dilanjutkan dengan salat Isya dua rakaat di waktu Isya (jamak takhir).
Kalau jamak takdim diperbolehkan di sini, mengapa Nabi tidak melaksanakan salat Isya bersama Maghrib saat memasuki Muzdalifah? Jawabannya adalah karena jamak takdim tidak disyariatkan.
Ini adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa jamak takdim dan jamak takhir keduanya diperbolehkan. Mereka yang membolehkan jamak takdim juga memperbolehkan menggabungkan salat Asar bersama salat Jumat setelah selesai salat Jumat. Namun, ada juga ulama yang mengingkari hal ini karena mereka berpendapat bahwa jenis salat Jumat berbeda dengan salat Asar, tidak seperti salat Dzuhur yang bisa dijamak dengan salat Asar.
Pendapat yang mengatakan tidak boleh menggabungkan salat Jumat dan Asar beralasan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya kecuali di Arafah, dan itu karena nusuk (ritual haji), bukan karena safar.
Dalam safar, yang lebih sering dilakukan adalah jamak takhir, bukan jamak takdim. Wallahu a'lam. Inilah yang saya pandang lebih kuat, dan Alhamdulillah Allah telah memberikan taufik sehingga saya bisa menulis sebuah pembahasan yang telah diterbitkan tentang jamak takdim. Imam Bukhari dan Imam Al-Uqaili serta ulama hadis lainnya mengingkari semua hadis yang mendukung jamak takdim. Wallahu a'lam.